artikel
EPISTEMOLOGI MASHLAHAH SEBAGAI PIJAKAN FIQH INDONESIA
Oleh. Rifqi Kurnia Wazzan, S.H.I., M.H[1]
Mashlahah dan Latar Belakangnya
Realitas sejarah mencatat bahwa, terjadi perkembangan teori hukum Islam (ushul fiqh) secara kontinuitas sesuai dengan perkembangan zaman. Dikarenakan hukum Islam memiliki standar ganda, yaitu sebagai alat untuk mengukur realitas sosial dengan ideal-ideal syari’at yang berujung pada hukum halal atau haram, dan sekaligus pada saat yang sama menjadi alat rekayasa sosial. Perkembangan teori hukum niscaya terjadi sejalan dengan perkembangan hukum secara umum, sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Oleh karenanya, pembaharuan merupakan watak dan karakteristik yang khas dari hukum Islam. Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan hukum Islam adalah konsep kepentingan umum (maslahah, public interest).
Hadirnya para pemikir Islam yang menciptakan interpretasi baru terhadap nash, bahkan meninggalkan nash dengan cara mendahulukan mashlahah dalam usaha istinbat hukum ternyata mendapatkan dukungan dari ulama-ulama tertentu. Hal ini menandakan adanya kesadaran untuk menerima perubahan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah seperti, hukum keluarga, ekonomi, sosial, politik dan ketatanegaraan melalui pembaharuan metodologinya dan melalui pertimbangan secara rasional. Keberanian semacam ini bukan saja akan meningkatkan peran serta kajian hukum Islam dalam bidang muamalah, tetapi pada waktu yang sama dengan cara tabyin, tahdid, taqyid dan takhsis ketentuan-ketentuan hukum muamalah akan mengalami pergeseran dalam bentuk tajdid al-hukm dan tabdil al-hukm. Konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap kepentingan umum pada waktu yang lalu belum tentu dianggap sebagai kepentingan umum (maslahah) pada masa sekarang.
Sebagai satu kesatuan yang utuh, segala perbuatan manusia dalam perspektif Islam harus selalu merupakan hubungan segitiga: hubungan vertikal dengan Tuhan (hablun min Allah) dan hubungan horizontal antarsesama manusia (hablun min an-nas).[2]
Kalau kita berpandangan bahwa hukum itu semata-mata hubungan kemasyarakatan, seperti pandangan Cicero bahwa dimana ada masyarakat di sana ada hukum (ubi societas ibi ius), maka pada saat seseorang tersesat ke laut lepas, karena tidak termasuk yurisdiksi suatu negara tertentu, maka orang yang tersesat tersebut boleh jadi berbuat sekehendak hatinya, misalnya merusak sumber daya hayati. Berbeda kalau menggunakan pandangan Hukum Islam (sesuai dengan kedua hubungan di atas, yakni hablun min Allah dan hablun min an-nas), laut lepaspun pastilah ada pemiliknya (Allah).[3]
Karakter idealisme, absolutisme dan keabadian hukum Islam merupakan implikasi dari postulasi bahwa hukum Islam berasal dari Allah. Namun hal yang tidak bisa diabaikan dari karakteristik hukum Islam adalah bahwa syari’at berisikan prinsip-prinsip umum yang dimaksudkan untuk dipahami sebagai suatu etika Islam dan karenanya, dapat memunculkan berbagai interpretasi. Disinilah syari’at bisa diletakkan sebagai sebuah “tekstur terbuka”, sebuah struktur norma yang tertulis secara baku tetapi terbuka terhadap adanya interpretasi.[4]
Ontologi Mashlahah
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.[5] Menurut bahasa aslinya kata mashlahah berasal dari kata salahu, yasluhu, salahan, artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.[6]
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahra, definisi maslahah mursalah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam mensyari’atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.[7]
Menurut Yusuf Musa memberikan pengertian bahwa maslahah mursalah yaitu segala kemashlahatan yang tidak diatur oleh ketentuan syara’ dengan mengakui atau tidaknya, akan tetapi mengakuinya dapat menarik manfaat dan menolak kemudharatan.[8]
Secara terminologis mashlahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri mereka, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun berupa pemeliharaan harta kekayaan mereka.[9]
Dengan definisi tentang maslahah mursalah di atas, penulis melihat bahwa dari segi redaksi nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada hakikatnya ada satu kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan. Kecuali batasan yang dikriteriakan oleh Muhammad Abu Zahrah tampak lebih inklusif dan eksklusif serta lebih mendudukkan persoalan pada tempatnya, bahwa mashlahah bukan mashlahah yang dilatarbelakangi oleh kebebasan berpendapat sesamanya yang dilandasi oleh emosi diri belaka, akan tetapi ia merupakan mashlahah dan sejalan dan senafas dengan tujuan atau maksud-maksud syara’, oleh karenanya maka dalam hal ini penulis lebih setuju dengan batasan yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah tersebut.
Selanjutnya batasan-batasan di atas kalau diteliti dan diperhatikan lebih mendalam lagi maka akan nampak bahwa kesemuanya saling lengkap-melengkapi satu sama lain dalam memperjelas pengertian serta hakikat mashlahah. Hubungan ini dapat digambarkan sebagai berikut:[10]
- Mashlahah adalah mashlahah yang tidak ditunjuk oleh dalil tertentu tentang diakui tidaknya.
- Mashlahah harus sejalan dan senafas dengan maksud-maksud syara’ (Allah) dalam mensyariatkan hukum.
- Mashlahah dalam realisasinya harus dapat menarik mashlahah dan menolak madharat.
- Mashlahah harus dapat dicapai dan diterima secara logis oleh akal sehat.
Berdasarkan uraian tersebut, maka terlihat bahwa pengertian al-mashlahah memiliki relasi yang signifikan dengan syarì’ah dalam beberapa rumusan diantaranya: Pertama, syarì’ah dibangun atas dasar kemashlahatan dan menolak adanya kerusakan di dunia dan akhirat, Allah memberi perintah dan larangan dengan alasan kemaslahatan; Kedua, syarì’ah selalu berhubungan dengan kemaslahatan, sehingga Rasulullah SAW mendorong umatnya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kerusakan; Ketiga, Tidak ada kemungkinan adanya pertentangan antara syarì’ah dan kemashlahatan; dan Keempat, syarì’ah selalu menunjukkan pada kemashlahatan meskipun tidak diketahui keberadaan letak kemashlahatannya, dan Allah memberi kepastian bahwa semua kemashlahatan yang ada dalam syarì’ah tidak akan menimbulkan kerusakan.[11]
Landasan Hukum Mashlahat
Kalangan ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa mashlahah mursalah merupakan hujjah syar’iyyah dan dalil hukum Islam. Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh mereka, diantaranya:[12]
- Adanya perintah al-Qur’an di dalam Surat al-Nisa’ ayat 59 agar mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada al-Qur’an dan sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa perselisihan itu terjadi karena ia merupakan masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya di dalam al-Qur’an dan sunnah. Untuk memecahkan masalah semacam itu, selain dapat ditempuh lewat metode qiyas, tentu juga dapat ditempuh lewat metode lain seperti istislah. Sebab, tidak semua kasus semacam itu dapat diselesaikan dengan metode qiyas. Dengan demikian, ayat tersebut secara tak langsung juga memerintahkan mujtahid untuk mengembalikan persoalan baru yang dihadapi kepada al-Quran dan sunnah dengan mengacu kepada prinsip mashlahah yang selalu ditegakkan oleh al-Qur’an dan sunnah. Cara ini dapat ditempuh melalui metode istislah, yakni menjadikan mashlahah mursalah sebagai dasar pertimbangan penetapan hukum Islam.
Pada bagian lain al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah memberlakukan kemudahan dan keringanan.[13] Allah berfirman dalam QS: al-Baqarah ayat 518: yang artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Demikian pula, Rasulullah menegaskan bahwa ajaran Islam menegasikan segala macam bentuk destruktif. Dan penegasian ini adalah suatu mashlahah.
- Hadis Mu’adz bin Jabal. Dalam hadis itu, Rasulullah Saw membenarkan dan memberi restu kepada Mu’adz untuk melakukan ijtihad apabila masalah yang perlu diputuskan hukumnya tidak terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, dengan wajh al-istidlal bahwa dalam berijtihad banyak metode yang bisa dipergunakan. Diantaranya, dengan metode qiyas, apabila kasus yang dihadapi ada percontohannya yang hukumnya telah ditegaskan oleh nash syara’ lantaran ada ‘illah yang mempertemukan. Dalam kondisi kasus itu tidak ada percontohannya yang hukumnya sudah ditegaskan oleh al-Qur’an dan sunnah, tentu ijtihad tidak dapat dilakukan hanya melalui qiyas.
- Tujuan pokok penetapan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia. Kemashlahatan manusia akan selalu berubah dan bertambah sesuai dengan kemajuan zaman. Seiring dengan itu paradigma pemenuhan kebutuhan hidup mengalami pergeseran. Berbagai metode pencapaian kesejahteraan pun beragam. Dalam kondisi semacam ini, akan banyak timbul masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh al-Qur’an dan sunnah. Kalaulah pemecahan masalah baru itu hanya ditempuh melalui metode qiyas maka akan terjadi banyak masalah baru yang tidak dapat diselesaikan oleh hukum Islam. Hal ini menjadi persoalan yang serius dan hukum Islam akan ketinggalan zaman. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat ditempuh lewat metode ijtihad yang lain, diantaranya adalah istislah. Bila mashlahah mursalah tidak dipertimbangkan sebagai salah satu metode ijtihad, betapa banyak kemashlahatan manusia terabaikan.[14]
- Di zaman sahabat banyak muncul masalah baru yang belum pernah terjadi pada zaman Rasulullah Saw. Untuk mengatasi hal ini, sahabat banyak melakukan ijtihad berdasarkan mashlahah mursalah. Cara dan tindakan semacam ini sudah menjadi konsensus para sahabat serta tanpa ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menimbulkan asumsi terbentuknya ijma’ atas keabsahan metode penggalian hukum berdasarkan mashlahah mursalah.
Stratifikasi Mashlahah
Dari segi pengakuan al-syari’ atasnya, mashlahah dikategorisasi oleh ulama ushul fiqh menjadi tiga macam, yaitu al-mashlahah al-mu’tabarah, al-mashlahah al-mulgha, dan al-mashlahah al-mursalah:[15]
- al-mashlahah al-mu’tabarah
Yakni mashlahah yang diakui secara eksplisit oleh syara’ yang ditunjukkan oleh dalil yang spesifik. Disepakati para ulama bahwa jenis mashlahat ini merupakan hujjah syra’iyyah yang valid dan otentik. Manifestasi organik dari jenis mashlahah ini adalah aplikasi qiyas. Sebagai contoh, di dalam QS. Al-Baqarah (2): 222 terdapat norma bahwa isteri yang sedang menstruasi (haid) tidak boleh atau haram disetubuhi oleh suaminya karena faktor adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan. Bagaimanakah dengan isteri yang sedang nifas? Bolehkah disetubuhi dengan suaminya? Dalam masalah ini dapat diaplikasikan qiyas, yakni qiyas kasus isteri yang sedang nifas kepada kasus isteri yang sedang menstruasi (haid) tersebut. Konsekuensinya, si isteri itu haram disetubuhi oleh suaminya karena faktor adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan.
- al-mashlahah al-mulgha
Yakni mashlahah yang tidak diakui oleh syara’ bahkan ditolak dan dianggap bathil oleh syara’. Sebagai contoh, opini hukum yang menyatakan porsi hak kewarisan laki-laki harus sama besar dan setara dengan porsi hak kewarisan perempuan, dengan mengacu kepada dasar pikiran semangat kesetaraan gender. Dasar pikiran demikian memang bermuatan mashlahah, tetapi dinamakan al-mashlahah al-mulgha
- al-mashlahah al-mursalah
Yakni mashlahah yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap bathil oleh syara’, tetapi masih sejalan secara substantif dengan kaidah-kaidah hukum yang universal. Sebagai contoh, kebijakan hukum perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan demikian tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula ditolak dan dianggap palsu oleh syara’. Akan tetapi, kebijakan demikian justru sejalan secara substantif dengan kaidah hukum yang universal, yakni tasarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manut-un bi al-mashlahah.
Kajian Teori Mashlahat Imam Malik dan Najmuddin al-Thufi
Hendaknya selalu dipahami bahwa bangunan pemikiran fiqh yang fundamental adalah kemaslahatan, kemanusian universal atau keadilan sosial. Tawaran ijtihad apapun, baik didukung dengan nash atau tidak, yang mampu menjamin kemaslahatan kemanusian dalam kacamata Islam adalah sah dan umat Islam terikat untuk merealisasikan.[16] Ketentuan nash baik dari al-Qur’an maupun al-hadis yang dipandang qath’i oleh ulama tertentu bisa jadi hanya dzanni oleh ulama lain. Begitu juga nash yang dipandang qath’i pada masa tertentu menjadi dzanni pada masa yang lain karena perubahan setting sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih dari itu mungkin saja terjadi bahwa suatu nash mengandung aspek qath’i dan dzanni sekaligus. Karena itu dalam berijtihad untuk mengambil kesimpulan hukum perlu diperhatikan maqasid al-syari’ah, agar hukum tidak sekedar demi hukum. Tiada lain tujuan hukum itu ialah demi keadilan, kemaslahatan, mencegah timbulnya kemadaratan dan kerusakan.[17]
Penulis berpendapat bahwa pembaharuan hukum Islam di Indonesia dari kalangan para ulama dan cendikiawan ada yang bersifat antisipatif dengan menunjukkan tantangan masa depan serta memberikan solusinya; ada yang bersifat eklektif sehingga mashlahah sebagai pertimbangan terdepan dalam menetapkan hukum Islam; ada yang bersifat konseptual dengan mengkritik metodologi hukum Islam disertai memilih menggunakan mashlahah versi Imam Malik; ada yang bersifat divergen karena liberasi pemikirannya sering menciptakan lompatan-lompatan pemikiran, ada yang bersifat integralistik dengan lebih memilih hubungan yang harmonis antara nash dan realitas; dan ada yang bersifat responsif yang peka untuk memberikan jawaban terhadap keresahan umat yang telah dan sedang terjadi.
- Teori Mashlahat Imam Malik
Konsep penalaran (maslahah mursalah) ini - dalam perspektif historis - untuk pertama kalinya dimunculkan dan dikembangkan dalam aliran pemikiran hukum Islam penganut Madzhab Maliki.[18]
Menurut Imam Malik, mashlahah mursalah atau istishlah ialah mashlahat yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syari’at Islam, dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan mashlahah tersebut. Jika mashlahah didukung oleh sumber dalil yang khusus, maka termasuk ke dalam qiyas dalam arti umum. Dan jika terdapat dalil khas (sumber dalil yang khusus) yang bersifat membatalkan, maka mashlahat tersebut menjadi batal. Mengambil mashlahat dalam pengertian yang terakhir ini bertentangan dengan tujuan-tujuan syari’.[19]
Imam Malik adalah Imam Madzhab yang menggunakan dalil mashlahah mursalah. Untuk menerapkan dalil ini, ia mengajukan tiga syarat yang dapat dipahami melalui definisi diatas, yaitu:[20]
- Adanya persesuaian antara mashlahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid as-syar’iyyah). Dengan adanya persyaratan ini, berarti mashlahat tidak boleh menegasikan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qath’i. Akan tetapi harus sesuai dengan mashlahat-mashlahat yang memang ingin diwujudkan oleh syar’i. Misalnya, jenis mashlahat itu tidak asing, meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
- Mashlahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
- Penggunaan dalil mashlahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti terjadi, dengan cara menghilangkan kepayahan (masyaqqat) dan bahaya (madharat).[21] Dalam pengertian, seandainya mashlahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.
Menurut hemat penulis, syarat diatas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah penggunaan sumber dalil ini (mashlahah mursalah) tercerabut dari akarnya (menyimpang dari esensinya) serta mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yang dipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan mashlahah mursalah.
Golongan Maliki berpendapat, bahwa sifat munasib yang merupakan alasan adanya mashlahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut menjadi illat bagi qiyas. Kalau memang demikian sifat munasib layak dijadikan illat, maka berarti mashlahah mursalah termasuk ke dalam macam qiyas. Oleh karena itu ia bisa diterima sebagai sumber hukum sebagaimana halnya diterimanya qiyas berdasarkan sifat munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah illat itu mundhabithah atau tidak. Karena begitu dekatnya pengertian sifat munasib dan mashlahah mursalah sehingga sebagian ulama madzhab Maliki menganggap bahwa sesungguhnya semua ulama ahli fiqh memakai dalil mashlahat, meskipun mereka menamakannya sifat munasib, atau memasukkannya ke dalam bagian qiyas.[22]
Sebagaimana telah diterangkan, bahwa mashlahah mursalah dibatasi dengan qayd (klasifikasi) tertentu, sehingga ia tidak tercerabut dari akar syariat dan tidak mengesampingkan nash-nash yang qath’i.
Imam Syafi’i adalah yang paling tegas menentang atas kehujjahan maslahah mursalah sebagai dalil hukum karena tidak memiliki standar yang pasti dari nash maupun qiyas, sedangkan pendirian Imam Syafi’i semua hukum haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan pada nash sebagaimana qiyas.[23] Bagi Imam Syafi’i urut-urutan sumber hukum Islam tidak boleh dibolak-balik, melainkan harus secara mutlak berurutan. Sehingga mashlahah mursalah tidak dapat diterima sebagai metode istinbat karena mashlahah mursalah itu tidak memiliki standar yang pasti dari nash maupun qiyas.[24]
Namun di sisi lain, Imam Syafi’i seperti yang telah dijelaskan oleh Husein Hamid Hasan, menyatakan bahwa maslahah mursalah sama seperti dalam pengertian qiyas, alasannya karena keduanya memiliki persamaan unsur-unsur, syarat qiyas ada tiga, pertama, adanya peristiwa yang tidak ada nash hukumnya yang jelas, kedua, adanya hukum yang dinashkan oleh syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian ma’nawi, ketiga, peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang mansus secara implisit.[25]
Penulis menyimpulkan beberapa kesamaan keduanya, yaitu bahwa mashlahah mursalah yang selama ini seakan diperdebatkan relevansinya sebagai metode pengambilan hukum antara Imam Malik dan Imam Syafi’i, pada dasarnya telah disepakati keduanya meskipun dengan menggunakan bahasa yang berbeda-beda dan juga kedua tokoh ini sama-sama mengakui keberadaan maslahah atau kepentingan umum yang secara eksplisit maupun impilsit dalam nash al-Qur’an maupun Sunnah.
- Teori Mashlahat al-Thufi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Rabi Sulaiman bin Abdul Qawi bin Abdul Karim bin Sa’id al-Tufi tetapi lebih dikenal dengan nama Najmudin al-Tufi, seorang ahli fiqh, ushul fiqh dan hadis dari kalangan Hanbali yang hidup pada abad ke-7 H dan awal abad ke-8 H.[26]
Dalam pemikiran Najmudin al-Tufi, mashlahah itu dibedakan menjadi dua macam: (1) mashlahah yang dikehendaki al-Syari’ untuk hak-Nya, seperti aneka ibadah mahdah, dan (2) mashlahah yang dikehendaki al-Syari’ untuk kebaikan makhluk-Nya dan keteraturan hidup mereka, seperti aneka bentuk muamalah.[27]
Al-Tufi tampil beda dalam mengidentifikasi kedudukan mashlahah dalam ajaran Islam. Bila al-Ghazali mengakui eksistensi mashlahah yang masih dalam batas lingkaran syara’. Al-Tufi cenderung melandaskan konstelasi mashlahah pada superioritas akal pikiran manusia. Bagi al-Tufi, visi akal lebih obyektif dalam memposisikan kriteria mashlahah ketimbang antagonisme nash (teks ajaran) antara satu dengan lainnya.
Karenanya, validitas kehujjahan mashlahah harus diprioritaskan atas dalil-dalil yang lain, termasuk nash syar’i. Ini sungguh merupakan tawaran sebuah teori ilmiah yang secara diametral berseberangan dengan teori mashlahah dalam fiqh konvensional.[28]
Sekurang-kurangnya ada empat landasan ideal yang dijadikan pijakan al-Tufi dalam menelaah dan meletakkan dasar-dasar teori mashlahah dalam fiqh Islam:
- Independensi rasio dalam upaya menemukan mashlahah maupun mafsadah. Menurut al-Tufi akal sehat manusia saja cukup memiliki kompetensi menentukan apa itu mashlahah dan apa pula itu mafsadah. Sinyalemen ini tampak sekali memiliki muatan kontroversi cukup menyolok dibandingkan pendapat para pakar syari’ah pada umumnya yang hanya mengakui eksistensi mashlahah yang beranjak dari spirit nash.
- Mashlahah merupakan dalil syar’i yang independen dalam batas pengertian bahwa validitas kehujjahan mashlahah tidak memiliki ketergantungan dengan nash. Sebaliknya keberadaan mashlahah dapat ditunjukkan dengan pembuktian empirik melalui hukum-hukum kebiasaan.
- Obyek penggunaan teori mashlahah adalah hukum-hukum transaksi sosial (mu’amalah) dan hukum-hukum kebiasaan (‘adah). Sebaliknya kajian mashlahah, menurut landasan ideal ini tidak dapat menjamah kesakralan ritus keagamaan (ibadah mahdah). Sebab yang dapat mentemalikan ibadah dengan ajaran suci hanyalah nash dan ijma’, bukan mashlahah yang dapat diteorikan dengan akal pikiran.
- Mashlahah merupakan dalil syar’i urutan teratas, sehingga pengutamaannya atas nash (teks ajaran) dan ijma (konsensus para mujtahid) merupakan keniscayaan. Prioritas mashlahah atas nash dan ijma, menurut al-Tufi, bukan dalam wujud menafikan nash maupun ijma itu sendiri. Sebaliknya, pemeliharaan mashlahah umat diupayakan dapat menetralisir keumuman nash dan ijma.[29]
Sembilan belas dalil dalam hukum Islam yang diutarakan Al-Tufi yaitu Al-Qur’an, al-Sunnah, Konsensus (Ijma’), kesepakatan penduduk Madinah (Ijma’ Ahl al-Madinah), Qiyas, pendapat sahabat (Qaul al- Sahabi), Maslahah Mursalah, Istishab, al-Bara‘ah al-Asliyah, al-‘Adah, al-Istiqra’, Saddu al-Zharai’, al-Istidlal, al-Istihsan, al-Akhzhu bi al-Akhaf, al-‘Ishmah, Ijma’ Ahl al-Kufah, Ijma’ al-‘Itrah, dan terakhir, Ijma’ al-Khulafa’ al-Arba’ah, merupakan jumlah keseluruhan dalil dalam pelbagai madzhab dalam hukum Islam. Al-Tufi menyatakan bahwa yang terkuat di antara sembilan belas dalil tersebut adalah nash dan ijma.[30]
Menurut Al-Tufi, adakalanya dua dalil terkuat tersebut, nash dan ijma, sejalan dengan prinsip menjaga kemaslahatan (Ri’ayah al-Mashlahah) dan adakalanya tidak. Jika bertentangan dengan prinsip menjaga kemaslahatan, maka yang didahulukan dalam konteks ini adalah menjaga kemaslahatan daripada nash apalagi ijma’. Al-Tufi menulis:
“Jika kedua dalil yang paling kuat tersebut membedai prinsip menjaga kemaslahatan (Ri’ayah al-Mashlahah), maka wajib mendahulukan mas lahah atas kedua dalil tersebut dengan menggunakan mekanisme Takhsis dan Tabyin, bukan dengan cara menghilangkan dan membuang apa yang ada dalam keduanya, sebagaimana mekanisme yang dilakukan al-Sunnah ketika men-tabyin Al-Qur’an”.[31]
Aplikasi Mashlahah Sebagai Pijakan Fiqh Indonesia
Mashlahah yang bersifat umum, yang genuine, yang mendukung terwujudnya tujuan-tujuan hukum Islam, dan yang tidak bertentangan dengan nash syari’ah merupakan dasar, pijakan dan kerangka acuan yang valid bagi legislasi hukum Islam.[32] Menurut Imran Ahsan Khan Nyazee, para ulama ahli hukum Islam bersepakat bahwa mashlahah dapat diaplikasikan sebagai basis dasar suatu ketetapan hukum, dan mashlahah ini dapat dijadikan dasar pikiran ketika memperluas ketetapan hukum itu kepada kasus-kasus baru. Inilah yang merupakan basis doktrin mashlahah.[33]
Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: pertama, untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan. Kedua, pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya. Ketiga, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional. Keempat, pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat nasional maupun tingkat internasional, terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[34]
Sungguhpun demikian, penulis berpandangan bahwa teori mashlahah sangat prospektif untuk bisa segera dioperasionalkan terhadap persoalan-persoalan baru yang muncul akibat perkembangan budaya dalam era globalisasi, terlepas dari perbedaan teori dan konsep mashlahah di dalam pengaplikasiannya.
Sebagai contoh misalnya, dalam kasus pengambilan keputusan hukum, MUI banyak mengeluarkan fatwa yang oleh banyak kalangan dinilai liberal. Fatwa MUI tanggal 1 Juni 1980 tentang seorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dinikahkan dengan seorang pria bukan Islam, dan seorang laki-laki muslim tidak diijinkan menikahi seorang wanita bukan Islam adalah tidak sejalan dengan Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 5. Fatwa melarang perkawinan semacan ini karena alasan kerugiannya (mafsadah) lebih besar dari pada keuntungannya (mashlahat). Sungguhpun fatwa ini ditunjukkan khusus mengenai kejadian-kejadian di Indonesia, tetapi fatwa ini sungguh radikal, karena bukan saja bertentangan dengan apa yang secara jelas dinyatakan dalam al-Qur’an, melainkan juga bertentangan dengan teks fiqh klasik yang sepakat memberi izin kepada seorang laki-laki muslim untuk menikahi seorang perempuan dari ahl al-kitab.[35] Melarang kaum muslimin pria dan wanita untuk kawin dengan orang-orang bukan Islam, bahkan juga dengan ahli kitab berarti membatalkan al-Qur’an dengan mashlahah. Atau paling tidak penundaan pelaksanaan larangan-larangan tertentu dalam al-Qur’an.
Rekomendasi MUI tentang jual beli tanah waris yang berukuran kecil, adalah lepas dari nash yang ada, hanya semata-mata bersandarkan mashlahah. MUI pada tahun 1984 merekomendasikan bahwa adalah lebih baik jika tanah-tanah warisan yang ukurannya kecil tidak dibagi-bagikan di antara para ahli waris, melainkan dibiarkan utuh sebagai satu kesatuan yang hasilnya dapat dinikmati bersama oleh para ahli waris. Jika hal ini tidak mungkin dilaksanakan, misalnya salah seorang ahli waris sangat memerlukan uang, maka disarankan agar tanah itu dijual kepada ahli waris lainnya. Apabila hal ini masih juga tidak mungkin dijalankan karena tidak ada ahli waris yang mampu membeli tanah warisan tersebut, maka dianjurkan supaya tanah itu dijual kepada pemilik tanah di sekitarnya. Kalau tidak bisa dilakukan, maka hendaknya ditawarkan ke umum dari desa yang sama yang beragama Islam.[36]
Dalam Undang-Undang perkawinan No 1 tahun 1974 banyak pasal-pasal yang nampak secara lahiriyah berbeda dengan nash baik, al-Qur’an, hadis maupun teks fiqh. Misalnya seorang suami dinilai sah menjatuhkan talak hanya di depan hakim Pengadilan Agama (pasal.39). Hakimlah yang menyatakan keabsahan penjatuhan talak itu. Jadi pengucapan talak oleh seorang suami di rumah atau melalui surat baru menunjukkan keinginan menceraikannya, belum sah menurut hukum.
Tentang anak, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang yang sah (pasal.42).[37] Di sini tidak bicara soal proses anak, sehingga anak yang diproses sebelum perkawinan asal nanti lahir dalam perkawinan yang sah nilainya menjadi anak sah.
Pembaruan fiqh juga terjadi dalam pasal-pasal mengenai hukum perwakafan. Pembaruan yang terdapat dalam pasal-pasal ini dilakukan dengan metode extra-doctrinal reform dan regulatory reform. Pembaruan dengan metode extra doctrinal reform ini dapat diperhatikan pada ketentuan mengenai ikrar wakaf kepada penerima wakaf yang harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan dua orang saksi (pasal218).[38]
Dan masih banyak lagi undang-undang yang proses pengambilan hukumnya lepas dari nash, atau hanya berdasarkan teks fiqh dan itupun tidak terikat pada madzahib al-arba’ah, bahkan banyak yang pengambilan keputusannya berdasarkan talfiq. Seperti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Nomor 41 tentang Wakaf tahun 2004, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan aturan-aturan pelaksanaannya.
Dari sini penulis melihat bahwa lahirnya beberapa undang-undang maupun fatwa ulama lebih mengutamakan mashlahah sebagai pertimbangan hukum pertama. Atau bahkan bisa dikatakan, bahwa pembaharuan hukum Islam untuk menjawab polemik dan problematika fiqh Indonesia didominasi oleh teori mashlahah yang digunakan sebagai pisau analisis di dalam memecah kebuntuan interpretasi teks. Bahkan dari sisi metodologis, pembentukan undang-undang maupun fatwa ulama ada yang tidak memberlakukan nash, kalau tidak dikatakan membatalkan nash, mengutamakan pertimbangan rasional. Mengutamakan teks fiqh dan sistem pengambilan maraji’nya bukan sekedar memilih salah satu madzahib al-arba’ah, tetapi madzhab manapun yang dipandang keputusan hukumnya lebih mashlahah akan diambilnya seperti madzhab dahiri dan madzhab syiah.
Kesimpulan
Penulis menyimpulkan tiga kategori hubungan korelasional mashlahah, antara lain: Pertama, bahwa aplikasi metode mashlahah mu’tabarah secara otomatis akan menunjuknya sebagai tujuan hukum atau maqashid al-syari’ah. Karena itu mashlahah ini sering disebut sebagai mashlahah al-khams (tingkatannya adalah dharuriat, hajiyat, dan tahsiniyat).
Kedua, mashlahah mursalah merupakan metode tanpa dukungan teks-teks keagamaan. Kendati demikian, metode ini harus terbatasi oleh pertimbangan maqashid al-syari’ah.
Ketiga, merupakan aplikasi mashlahah secara progresif, di mana mashlahah sebagai suatu prinsip kebenaran dan kebaikan bukan dalam tataran metodis, namun merupakan sumber hukum Islam di samping sumber hukum yang lain. Pertimbangan hukum berdasarkan kedua teori, al-syari’ah mashlahah ataupun al-mashlahah syari’ah kendati sama-sama terangkum dalam kontrol maqashid al-syari’ah, namun terkendali oleh kekuatan intelegensia masing-masing pemikir hukum. Karena itulah implikasi manipulasi konsep mashlahah bisa saja terjadi. Teori ini merupakan teori alternatif, yang tidak terlalu mementingkan teks keagamaan, tetapi lebih kepada hikmah teks dan tujuan-tujuan kebaikan. Teori ini adalah teori hukum Islam yang meletakkan mashlahah sebagai poros tujuan syari’ah.
Sangat tepat sekali ketika peran mashlahah sangat diperlukan, hal ini kaitannya dengan maqasid asy-syari’ah antara hubungan mashlahah yang bersifat umum harus didahulukan dari pada mashlahah yang bersifat khusus. Dengan demikian sumbangan besar penerapan mashlahah sebagai sumber hukum Islam adalah ada pada pengembangan ijtihad hukum Islam khususnya dalam bidang mua’malah, sehingga problematika Fiqh Indonesia tidak tercerabut dari akar budaya masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, et al., Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 9, 2005)
Abu Bakar, Muhammad bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’ìn ‘an Rabb al-‘Âlamìn (Beirut: Dâr al-Jail, tt.), Juz III
A. Mughni, Syafiq, Nilai-Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)
Alim, Muhammad, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2010)
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Juz ke-1, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, tahqiq wa ta‘liq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1997)
Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim, t.th., Jilid I, Juz ke-2, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)
Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris, t.th. ar-Risalah, tahqiq wa syarh Ahmad Muhammad Syakir (Beirut : Dar al-Kitabah al-Ilmiyyah)
Al-Tufi, Najmuddin, Syarh al-Arba‘ìn al-Nawawiyyah, Mustafa Zaid, al-Mashlahah fi al-Tasyrì’ al-Islâmiy wa Najm al-Dìn al-Tûfi, (t.tp.: Dâr al-Fikr al-Arabiy, 1384 H/1964 M)
Al-Tufi, Najmuddin, Risalah fī Ri’ayah al-Mashlahah, diedit oleh Ahmad Abdul Rahim al-Sayih, (Beirut: Dār al-Maṣdiyah al- Bananīyah, 1994)
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, juz ke-2.
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011)
Atho Muhdzhar, Mohammad, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam Indonesia, 1975-1988,(Jakarta: INIS, 1993)
Aziz Dahlan, Abdul, dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2 Cet III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999)
Farid Masudi, Masdar, dalam Mujamil Qomar, NU Liberal dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. (Bandung: Mizan, 2002)
Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siswa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, PP Lirboyo, 2008),
Hamid Hassan, Husain, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971)
Hashim Kamali, Mohammad, Fiqh and Adaptation to Social Reality dalam Jurnal The Muslim World, 1996, Vol.86, No.1
Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1963)
Khan Nyazee, Imran Ahsan, Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad, (New Delhi: Adam Publishers & Distribution, 1996)
Kholil, Munawar, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, (Semarang: Bulan Bintang, 1955)
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cet. I, 2006)
Tibi, Bassam, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Misbah ZE dan Zainul Abbas, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
Yafie, Ali, ”Konsep Istihsân, Istislâh, Istishâb dan Maslahât al-‘Âmmah”, dalam Budi Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994)
Yunus, Muhammad, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973)
Yusuf Musa, Muhammad, al-Madhal lil Dirasah al-Islam, (Mesir: Dar al-Fikr, tth)
Zuhri, Saifuddin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
[1] Calon Hakim Pengadilan Agama Ruteng, NTT; dan sekarang sedang menjalani Pendidikan sebagai Calon Hakim di Pengadilan Agama Kendal
[2] Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1963), hlm 24.
[3] Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern dalam Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 96.
[4] H.L.A. Hart dalam bukunya The Concept of Law, lihat Bassam Tibi, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Misbah ZE dan Zainul Abbas, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 112
[5] Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, (Semarang: Bulan Bintang, 1955), hlm. 43.
[6] Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973), hlm. 219.
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, et al., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 9, 2005, hlm. 424.
[8] Muhammad Yusuf Musa, al-Madhal lil Dirasah al-Islam, (Mesir: Dar al-Fikr, tth), hlm 200. Mengutip dari Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 82.
[9] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 128.
[10] Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, hlm. 83-84.
[11] Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’ìn ‘an Rabb al-‘Âlamìn (Beirut: Dâr al-Jail, tt.), Juz III, hlm., 3.
[12] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, juz ke-2, hlm. 761-764, dikutip dari Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 130-132.
[13] Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siswa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, PP Lirboyo, 2008), hlm. 263.
[14] Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, hlm. 264-265.
[15] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, juz ke-2, hlm. 452, dikutip dari Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 129-130.
[16] Masdar Farid Masudi, dalam Mujamil Qomar, NU Liberal dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 201.
[17] Syafiq A. Mughni, Nilai-Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.241.
[18] Ali Yafie, ”Konsep Istihsân, Istislâh, Istishâb dan Maslahât al-‘Âmmah”, dalam Budi Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), hlm. 365. Bandingkan dengan Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law ,(London: Oxford University Press, 1971), hlm. 61.
[19] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 427.
[20] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 427-428.
[21] Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, t.th., Jilid I, Juz ke-2, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), hlm.133
[22] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hlm 433-434.
[23] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, t.th. ar-Risalah, tahqiq wa syarh Ahmad Muhammad Syakir (Beirut : Dar al-Kitabah al-Ilmiyyah), hlm. 142.
[24] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Juz ke-1, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, tahqiq wa ta‘liq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1997), hlm. 286-287.
[25] Husain Hamid Hassan, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971), hlm. 324-325.
[26] Abdul Aziz Dahlan, dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2 Cet III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), hlm. 236-237.
[27] Najmuddin al-Tufi, Syarh al-Arba‘ìn al-Nawawiyyah, hlm. 19, sebagaimana dimuat sebagai lampiran dalam Mustafa Zaid, al-Mashlahah fi al-Tasyrì’ al-Islâmiy wa Najm al-Dìn al-Tûfi, (t.tp.: Dâr al-Fikr al-Arabiy, 1384 H/1964 M), hlm. 211.
[28] Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, hlm. 119.
[29] Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, hlm. 119-121.
[30] Najmuddin al-Tufi, Risalah fī Ri’ayah al-Mashlahah, diedit oleh Ahmad Abdul Rahim al-Sayih, (Beirut: Dār al-Maṣdiyah al- Bananīyah, 1994), hlm. 23.
[31] Najmuddin al-Tufi, Risalah fī Ri’ayah al-Mashlahah, hlm. 23-24.
[32] Mohammad Hashim Kamali, Fiqh and Adaptation to Social Reality dalam Jurnal The Muslim World, 1996, Vol.86, No.1 h. 72.
[33] Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad, (New Delhi: Adam Publishers & Distribution, 1996), h. 236-237.
[34] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cet. I, 2006), hlm. 154
[35] Mohammad Atho Muhdzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam Indonesia, 1975-1988,(Jakarta: INIS, 1993), hlm.100.
[36] Mohammad Atho Muhdzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia.. hlm 107-108
[37] Undang-Undang Perkawinan, (Surabaya: Karya Anda).
[38] Ketentuan di atas tidak pernah dipersyaratkan oleh ulama fiqh. Ulama fiqh hanya menetapkan empat rukun wakaf, yaitu pemberi wakaf (waqif), benda yang diwakafkan (mawquf), penerima wakaf (mawquf 'alaih) dan sighat ijab dan qabul. Mereka tidak menetapkan kesaksian dua orang saksi dan pencatatan dari petugas pemerintah sebagai rukun dari wakaf.